Rabu, 25 Maret 2020

5 LEMBAGA : CPI, GCB, BPI, PERC & GCI TAHUN TERBARU


 1.      CPI - Corruption Perception Index
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUWUFr7mJ1Rf3NOsK77HDStTCQXYAJgkybL7UhQ-NvJwXEvOIJEzjRTmnz1SagdCGR2UkV1370kwWEXdn9WyVhufmT6jwDNsZ8jPLBJ-wLtBrbhh3SnuwJEvKRr4RY4C3P5SRej7z_EInq/s640/0004.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgATWv7UQBGfiG2bIuMI6i04MNxJvIj0v3VIHZhpLbZmIqASAPnm0pVN6wOTXREos3wKZNcEIFELW4Q17KfLvmwLUxZSDh-M1LoXF01WwklGNhKo4X7alVkAKmE3u_gfsRx4NjIZ23p30Yk/s640/0005.jpg

Tujuan diadakan survey CPI untuk melihat adanya suap/pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Pegawai Negeri dan Politisi yang melakukan penyalahgunaan jabatan.

Dengan skor 40, Indonesia meningkat dua poin pada CPI. Perekonomian baru yang menjanjikan disertai dengan represi masyarakat sipil dan institusi pengawasan yang lemah. Kemandirian dan keefektifan komisi anti korupsi Indonesia, KPK, saat ini sedang digagalkan oleh pemerintah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dipandang sebagai simbol kemajuan dan modernisasi, tetapi sedang mengalami kehilangan otonomi dan kekuasaan.






2.      GCB - GLOBAL CORRUPTIONS BAROMETER

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0aF79o_vSq2wxf5fRtSs3TAkdYjqooRBEBGm7OJOVE6jE1cXmeCUARaEnNzuTEqApZvNHztY33pDFWdE0yEwXmURomuGGuaHjzamb97mMLBYtJ-CRmAy4xbgdYW6Cxc0lEDrEuBwJ-7sl/s640/gcb.png

 

 

Survey GCB dilakukan untuk melihat bagaimana korupsi di suatu Negara dapat mempengaruhi kehidupan umum terutama rakyat jelata yang dilakukan oleh Politisi atau Partai Politik.

Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat ke-2 yang menjelaskan bahwa presentasi korupsi terus meningkat.  
Korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap. Polisi adalah layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan kependudukan. Dalam konteks Indonesia, korupsi masih meningkat, dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, birokrasi, sektor pajak dan polisi dipersepsikan sebagai lembaga yang korupsi.




3.     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFbkBnggKd_uAjfJqtCyZGBnqpe5pVH6X5_xEgmHo69Z7gJQdkxSnc9dZKsIPzx71RYL3reiEu-yDNa73K2r04SP-6ijiHUlQL1cy5SALQinzplbn5dt2ev1OH5HhrxJsMQljWITOLNmbn/s640/bpi.png

BPI - Bribe Payer Index

 

 

Survey BPI dilakukan untuk melihat adanya kasus suap yang biasanya terjadi pada Sektor Bisnis.

Hasilnya, dari 153 observasi yang dilakukan, Indonesia memiliki score 7,1 yang artinya harus terus meningkatkan dan memberikan tindakan lebih dalam kasus suap menyuap.


4.     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxbPAkpnsmK9UCXp7MZIXN7G574r9dKUA03z7rejTxNGse8C10sMVFDxQh19gyZQtKO5_kSmSI_S7bOEGZZkhYwe6ZYVMlP1HOAyK_UXp8LkAmAYzp9lprcPVdbqBwuPJGTCrBa-xfPoEz/s640/perc.png

PERC - Political and Economic Risk Consultancy


Survey PERC dilakukan untuk melihat resiko korupsi dalam politik dan ekonomi.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara Asia terburuk ketiga dalam sistem birokrasi. Survei itu akan menjadi cermin bagi upaya reformasi birokrasi di Indonesia. Persepsi akan korupsi yang terjadi di Indonesia masih terbilang tinggi dan mencapai nilai 7,57.

Para pelaku bisnis di Indonesia merupakan negara paling korup di kawasan Asia Pasifik. Ini tentu berkaitan dengan kinerja birokrasi, sehingga persoalannya tidak akan selesai kalau hanya mengandalkan penindakan. Ini harus diatasi dengan mulai membangun komitmen






5.     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzCPiMHaUEySweFRe4EgnkdC1ZVMoLsSwLH4Y93DtBfJ1mCPDt_5i9P1jf5rrikQSkCl1lV8NUQHSEYsPmLsUJJkn5s3tAS-7Emu6Z6ee2UhWItt7od-v-m14f49QC6Tm16A6dNkJU-ItP/s640/0015.jpg,https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZl32LXtvgIATrUQV8o45aNRsjiCdY0ZWfInCmriP2R0GZQJ67_l772nY5X7wDC9U14nQSBW5NUknvuQYtnsKq40PHG8i_K5zn57fnQ4S4vVu-KcrQ2MQYppZ06yc4Qb38LEYh1f0qqqnA/s640/gci+gede.png

GCI - Global Competitiveness Index

Survey GCI dilakukan untuk melihat persaingan global pada suatu Negara yang memiliki daya saing tinggi.

 

Hasilnya, Indonesia menduduki range middle to upper meskipun masih ada sebagian daerah yang belum terjamah yang artinya efficiency driven economies sudah cukup baik namun masih perlu adanya peningkatan.














Jumat, 20 Maret 2020

KASUS BANK BALI


KASUS BANK BALI

Salah satu kasus terbesar yang terjadi di Indonesia pada saat masa krisis moneter 1997-1998,kasus ini menyangkut nama-nama besar dan cukup dikenal pada masa itu. Bahkan  dalam kasus ini, Rudy Ramli - Direktur Utama Bank Bali yang juga  anak kandung Djaya Ramli, pendiri Bank Bali - menjadi pesakitan dan duduk sebagai tersangka. Proses hukum Bank Bali sungguh berliku,  dan sebenarnya belum benar-benar tuntas hingga saat ini. Sementara nama Bank Bali sudah lama mati.  
Kasus korupsi Bank Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan menagih piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional,dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3 Trilyun Rupiah. Setelah beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak membawa hasil. Bahkan ketiga bank tersebutmasuk ke dalam daftar bank yang akan ‘disehatkan’ oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya. Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih. Dan memang betul, cespleng. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat. Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini.

Saat itu sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil. Isu ini terus menggelinding bak bola liar, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto angkat bicara. Pradjoto mencium skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari total fee yang diterima Era Giat.
Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.
Sadar   bahwa   Cessie   tersebut   bermasalah,   BPPN   membatalkan   pengucuran   dana tersebut. Kemudian akibat pembatalan itu, Setya Novanto menggugat BPPN ke PengadilanTata Usaha Negara dan menang di tingkat pertama dan tingkat banding, namun dikalahkanoleh BPPN pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
PT.  Era  Giat   Prima   juga  membawa   kasus  ini  ke   ranah  perdata.   Perusahaan  itu menggugat Bank Bali  dan Bank  Indonesia agar mencairkan dana Rp 546  miliar  untukmereka. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan PT. Era Giat Prima berhak atas uanglebih   dari   setengah  miliar   rupiah   itu.   Kasus   ini  terus  bergulir  ke   atas.   Lewat   putusankasasinya, Mahkamah Agung kemudian memutuskan uang itu milik Bank Bali.
Di tengah proses pengadilan tata usaha negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas ”mengambil” kasus ini. Kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini,antara lain Joko Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh melakukan korupsi uang negara. Kejaksaan menyita uang Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.
 Kendati yang menjadi tersangka lumayan banyak, ternyata belakangan yang diadilihanya tiga orang: Joko Chandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.
Yang kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi  Djoko  dinyatakan bebas. Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara.
Kerugian Negara Akibat Kasus Bank Bali Berdasarkan pemaparan   diatas,   kerugian   yang diderita  oleh Negara  akibat  kasuscessie Bank Bali adalah Rp  546.166.116.369. Hal ini dikarenakan uang yang dikucurkan untuk penyelesaian pinjaman antar Bank oleh Negara melalui BPPN tidak dilakukan melalui prosedur   yang   benar  dan   regulasi  atas   penyelesaian   pinjaman   itu   telah   “dibolak-balik”melalui cara-cara politik agar meloloskan niatan para tersangka.

            Pendapat saya mengenai kasus bank bali yang telah terjadi dimasa lampau adalah kenangan hitam yang membekas dan bukti atas penyimpangan moral yang begitu berat. Dimana dapat kita lihat dan pahami, dan sangat dapat dimengerti kasus ini dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melakukan amanahnya dengan benar dengan tujuan kesejahteraan bersama. Kasus ini sangat mencemarkan nama bangsa dan juga membuat pandangan dunia terhadap bangsa ini menjadi negatif. Dengan sangat jelas orang-orang dapat melihat suatu kejahatan yang sangat terencana dan terusun dengan rapih hingga akhirnya dapat terbongkar dan walau sudah sangat terlihat kejanggalannya masih saja penanganan yang dilakukan terhadap kasus ini tidak memuaskan dalam arti sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan dan yang seharusnya dilakukan para penegak hukum yang berwenang.
            Hal ini memang bukan sesuatu yang aneh di negara ini, banyak kejadian-kejadian yang sangat menunjukkan penegakan hukum di negara kita ini sangatlah aneh, dimana orang-orang yang berkuasa dan besar adalah orang-orang yang kebal hukum dan dapat semena-mena melakukan manipulasi ataupun kecurangan yang bisa dimudahkan oleh uang dan harta yang mereka miliki. Hukum dinegara kita ini memang harus ditegakkan setegak-tegaknya,seadil-adilnya,sebersih-bersihnya,sejujur-jujurnya, dan serta dengan kesadaran menjunjung tinggi kemanusian dengan harapan kejadian ini tidak terulang kembali dimasa yang akan datang.

            “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (AMOS 5 : 24)